Repetisi Kemalangan
July 17, 2006 · Print This Article
Selalu ada yang hilang setiap kita saksikan tayangan ulang.
Pasti Anda tak percaya, dalam 12 jam, 8 kartu merah telah didapatkan Zidane. Dan parahnya, kartu merah itu didapatkan Zidane dengan melakukan kesalahan yang sama, menanduk dada Materazzi. Sehingga wasit Horacio Elizondo dari Argentina harus menarik kartu merah, juga 8 kali! Itu minimal. Karena di luar yang saya saksikan hari itu, kemungkinan, masih berkali-kali Zidane menandukkan kepalanya lagi, menerima kartu merah. Dan jika dihitung sampai hari ini, percayalah, telah beratus kali kepala plontos itu menjengkangkan Materazzi.
Anda mau menghitung?
Di Senin dini itu, SCTV menayangkan tandukan Zidane sekitar tiga kali, sekali tayangan utuh dari menit 0 sampai 112 pertandingan, dan dua replay, slow motion. Usai penalti, presenter meminta penonton menyaksikan lagi replay tandukan itu. Pukul 6 pagi, berita SCTV memutarnya lagi. Lalu pukul 06.30 di “Sport 7″ TV7, dan SCTV menayangkan lagi, partai utuh di pukul 7 pagi. Sore, dengan “gaya” seakan pertandingan belum pernah terjadi, presenter SCTV dan komentatornya, kembali me-replay pertandingan itu. Dan Zidane menanduk lagi. 8 kali! Itu belum dengan tayangan di RCTI, MetroTV, Anteve, dan lainnya. Kepada teman-teman, setengah berkelakar, saya berkata bahwa Prancis protes pada FIFA, maka partai final pun digelar sampai 3 kali. Hasilnya, sama. Domenech tak pernah belajar dari kesalahan pertama, dan tetap memasukkan Zidane di partai kedua, juga ketiga.
Merekatkan ingatan
Tentu, peristiwa Zidane hanya satu contoh. Karena nyaris semua partai dalam Piala Dunia kali ini di-replay. Minimal, 3 kali Inggris kalah penalti melawan Portugal. Dan John Terry, sesenggukan juga minimal 3 kali. Keponakan saya, dengan heran bertanya, “Omm, Ricky Jo itu gak kembung ya, kok minum Extrajoss sampai berkali-kali?”
Ya, tayang ulang memang bukan hal yang baru dalam iklan. Bahkan, sehari kita bisa menyaksikan Tamara mandi berkali-kali, atau si ibu yang “makan ati” sampai puluhan kali. Repetisi dalam iklan adalah hal yang wajib. Namun, tanpa disadari, repetisi ini juga merambah bidang lain. Anehnya, peristiwa itu bukan replay tapi seperti replay. Tidak kembar meski sama. Infotainmen misalnya. Pagi sudah ada “Was-was” di SCTV, membahas pencabutan tuntutan Fanny atas Taufik Hidayat. Beda beberapa menit, tayang hal yang sama di “Ekspresso” Anteve, lalu tayang lagi di “Insert Pagi” TransTV, “Kiss” Indosiar, “Silet” RCTI, “Kabar-kabari”, dan puluhan acara infotainmen lain. Ppfuihh, pusing!
Hal yang sama juga terjadi pada berita sadis. Perkosaan di “Sergap” juga tayang di “TKP” atau “Patroli”. Pembunuhan di “Sidik” juga tampil di “Buser”, “Brutal” dan “Saksi Mata”. Penonton diajak ekstase dari satu cipratan luka ke genangan darah, dari isak kesedihan ke jerit ratap kematian. Berputar, berulang.
Peristiwa politik pun sama. Penemuan ratusan senjata di rumah Koesmayadi misalnya, tayang di “Lintas Siang”, “Liputan 6″, “Buletin Siang”, “Metro Siang” sampai “Tujuh Malam”. Gambar sama, narasi pun tak jauh beda.
Cukup? Belum. Repetisi juga menghinggapi penayangan bencana alam; banjir Bahorok, tsunami Aceh, Gempa Yogya, sampai semburan lumpur panas di Sidoarjo. Penonton berpuluh kali melihat rekaman video Cut Putri saat tsunami menghantam Aceh, menatap ngeri air yang melahap apa saja, menyaksikan jerit-tangis, rumah rubuh, luka, darah, mayat, mayat, mayat… Berserakan, begitu jelas, begitu gamblang. Betapa sering perulangan video ini diputar, sehingga nyaris setiap penonton dapat mengingat detilnya, hapal warna air, kusam cat rumah rubuh, jajaran pohon kelapa dekat masjid, tubuh-tubuh yang terseret…
Mengalpakan Iba
Repetisi memang penting. Pada iklan, repetisi dilakukan agar sebuah produk cepat diingat penonton. Karena begitu banyak merek di dalam jenis produk yang sama, repetisi merekamkan kepada pemirsa keberbedaannya. Lux berbeda dari Giv, Jazz tak sama dengan Yaris. Dengan itu, segmentasi tercipta. Konsumen secara sadar memilihkan apa yang cocok untuk dirinya.
Perulangan tayang pada peristiwa, tidak berfungsi “sesederhana” itu. Pada kasus Zidane, replay penting untuk membuat penonton dapat mengetahui persis apa yang terjadi, dan kamera menjelaskannya melalui slow motion. Dengan begitu, penonton dapat mengambil sikap, memaklumi tandukan itu atau mengutuknya. Replay mencatatkan prosesnya. Kamera melalui medium close-up menunjukkan kesedihan Zidane, mata yang kehilangan cahaya saat wasit mengganjarnya. Penonton dapat mengingatnya.
Begitu juga untuk tayangan kekerasan. Penonton barangkali dijejali agar ikut mengutuk, mencela segala kejahatan, dan didorong menjaga keluarga dan diri agar tak terkena atau melakukan kekerasan yang sama. “Perulangan” yang diindikasikan membuat takut dan atau jera.
Pada kasus tsunami Aceh dan sejenisnya, tayang ulang dilakukan untuk menunjukkan betapa dahsyat peristiwa itu, begitu mencekam. Menuntun penonton untuk dapat seperti mengalami penderitaan yang sama, kengerian dan sakit yang sama. Sehingga hati menjadi tergerak untuk membantu, harta menjadi ringan untuk disumbangkan. Di sini, penayangan ulang kemalangan dapat menciptakan energi kebaikan, melahirkan tangis kebersamaan.
Tapi, setiap hal punya dua sisi. Begitu juga dengan repetisi.
Repetisi memang mengekalkan ingatan kita atas sebuah peristiwa. Tapi, di saat yang bersamaan, repetisi juga melekangkan nilai-nilai peristiwa tersebut. Getar hati yang punah, kesedihan yang timpas, selebihnya permakluman. Suasana yang bisa diprediksi. Zidane menjadi bukti.
Saya nyaris terlompat ketika Zidane menandukkan kepalanya. “Gila! Apa yang dia lakukan?!” Ketika melihat dia merangkul Buffon, dan kamera secara close up menunjukkan matanya yang basah, dan bibirnya yang gemetar, saya hampir menangis. “Kenapa Zidane, kenapa?!” Dan saat dia gontai ke luar lapangan, saya putus asa. Prancis tak lagi punya harapan. Seluruh adegan itu memenuhi dada saya, dan ketakutan, juga keharuan, masuk dengan entengnya, mengalahkan kantuk dengan begitu jumawa. Seakan tak cukup merasakan kesakitan itu sendirian, saya SMS teman, “Habis dia, habis! Akhir karier yang pedih…” Di momen itu, sakit Zidane adalah sakit saya.
Tapi, menyaksikan tandukan itu di tayangan pagi, keharuan tiba-tiba pergi. Saya tak lagi tersedak, meski masih merasa aneh. Dan ketika sore hari menyaksikannya untuk kedelapan kali, tak ada lagi ketercekatan. Hambar. Kini saya melihat tandukan itu dengan tertawa. Lucu.
Perulangan, repetisi yang begitu kelewatan oleh televisi, memang membunuh keterlibatan hati atas peristiwa itu. Tak ada lagi getar, cemas, dan iba. Repetisi memajalkan, menumpulkan rasa. Repetisi mengubah “menu istimewa” menjadi makanan sehari-hari, tak lagi punya daya kejut. Lihatlah tayangan “Buser” atau “Sergap”, perkosaan itu, pembunuhan itu, tak lagi semencemaskan dulu, ketika tayangan itu kali pertama muncul. Tataplah kini video tsunami Cut Putri. Kemana kengerian itu? Ke mana airmata yang dulu begitu saja gampang berloncatan. Ke mana pekik, “Ya Tuhan…” Repetisi menghilangkannya.
Yang berharga dari tiap manusia adalah memiliki rasa iba. Dan repetisi tayangan di televisi secara sadar mengikisnya. Menghapusnya. Membuatnya alpa.
[Artikel ini sudah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 16 Juli 2006]
No comments yet.